Minggu, 31 Oktober 2010

APAKAH RUMAH RANGKA BETON PALING AMAN UNTUK RUMAH TAHAN GEMPA (2)

Di tengah kesibukan (dan kejenuhan!) saya menulis thesis S3 saya, saya mencoba kembali mengisi blog ini sekedar agar tidak terabaikan dan mengisi waktu jenuh saya yang memang sedang jauh dari anak istri ini (…ehem). Topik saya kali ini tidak jauh dengan tema thesis yang saya sedang kerjakan, rumah tradisional Jawa dan kaitannya dengan gempa bumi.

STIFFNESS, STRENGTH, dan DUCTILITY

Sebagai akibat gempa bumi Bantul 2006 lalu, banyak bangunan entah itu yang disebut dengan bangunan tradisional atau bangunan modern, sebagian besar hancur luluh lantak diterjang gempa. Segera setelah itu, pemerintah dan ratusan donatur membangun kembali hunian di bantul dan sekitarnya dengan rumah baru melalui program rekonstruksi. Jenis rumah rekonstruksi yang popular dan banyak dibangun ketika itu adalah rumah tembok batubata dengan rangka beton bertulang. Rumah seperti ini dianggap yang paling aman atau paling tepat untuk mengantisipasi gempa kelak kemudian hari. Rumah-rumah sebelumnya, terutama rumah tradisional, banyak dianggap kurang sesuai untuk bangunan tahan gempa. Maka berbondong-bondonglah masyarakat Bantul dan sekitarnya membangun rumah mereka dengan jenis beton bertulang ini yang memang sebelumnya kurang banyak dipakai, terutama masyarakat pedesaan yang dulu masih akrab dengan rumah batubata atau rumah kayu baik ‘gedhek’ atau ‘gebyok’. Kini sudah dapat dipastikan ketika anda berkunjung ke Bantul, rumah tempo doeloe ala rumah Jawa Limasan yang banyak dipakai di Bantul sebelumnya sudah tinggal kenangan.

Sekedar untuk diketahui, bahwa rumah batubata rangka beton memang menjadi salah satu solusi membangun rumah aman terhadap gempa tapi bukanlah yang teraman diantara pilihan yang ada. Mengingat sifat dari rangka beton dinding bata ini mengandalkan prinsip stiffness dan strength tentunya ketimbang ductile. Prinsip bangunan tahan gempa memang seharusnya mencakup tiga hal tersebut. Stiffnes adalah prinsip ketahan bangunan terhadap goncangan sehingga bangunan tidak berubah bentuk, sementara strength adalah prinsip kekuatan bangunan maksimal terhadap gempa sehingga selalu dikaitkan dengan ketahanan menerima beban. Smentara ductile lebih berkaitan dengan daya tahan bangunan untuk berubah bentuk (flexible, plastis), atau menyerap gaya, sesuai beban yang ada. Prinsip stiffness ini lebih aplikable pada bangunan dengan materi berat seperti batu bata dan beton yang sifatnya rigid atau kaku dan tidak fleksible. Sementara ductile lebih cocok kalau menggunakan material seperti kayu dan baja.

Sayangnya, prinsip bangunan yang mengutamakan stifness hanya cocok diaplikasikan untuk daearah yang mempunyai resiko gempa kecil mengingat daya tahan terhadap guncangan akan relative rendah. Hal ini diperparah dengan beban bangunan yang tinggi jika menggunakan material seperti batu bata dan beton bertulang. Beban yang tinggi disamping plastisitasnya relative rendah juga rentan terhadap bahaya guling karena gaya lateral atau horizontal akibat gempa. Ini juga sangat berbahaya jika digunakan sebagai bangunan hunian jika runtuhan elemen akan menimpa penghuni dibawahnya relative lebih ‘mematikan’ ketimbang material ringan seperti kayu. Apalgi jika kualitas pelaksanaan juga rendah, maka resiko terhadap gempa akan sangat tinggi.

Hal inilah yang mengusik pikiran saya selama ini. Rumah-rumah baru di Bantul telah dibangun sepernuhnya dengan menggunakan batu bata dan beton bertulang. Terlepas apakah pelaksanaannya benar atau belum, penggunaan jenis material ini memang masih menghawatirkan untuk daerah rawan gempa seperti di Bantul. Rumah-rumah dengan prinsip ductile yang tinggi mestinya lebih aman dan lebih ditekankan ketimbang beton bertulang yang lebih rigid dan brittle ini. Walaupun sementara pendapat mengatakan akan sangat mahal jika menggunakan kayu, tapi beton bertulang apakah juga bukan bahan bangunan yang mahal saat ini? Dan mungkin jangan dilupakan, potensi penggunaan kayu local seperti glugu ataupun bamboo juga masih dapat ditingkatkan. Dan satu lagi, dengan membangun rumah-rumah berbahan dasar kayu kita juga akan kembali melestarikan rumah tradisioal jawa yang sebelumnya banyak dipakai (nanti akan kita bahas mengapa rumah tradisioal banyak runtuh di gempa 2006 di Jawa).

ADA APA KETIKA GUNUNG GUNUNG BERAPI MULAI AKTIF?

Sebagai Negara yang berada di wilayah seismic aktif “ring of fire” sudah sewajarnya aktifitas seismic seperti gempa dan gunung berapi selalu ‘akrab’ dengan kehidupan bangsa Indonesia. Kedua lingkar tectonic Eurasia di selatan kepulauan Indonesia (tepatnya barat Pulau Sumatra dan Selatan Pulau Jawa ) dan Pacific Ridge di Timur Laut kita itu terkenal sebagai jalur tectonic yang paling aktif di deunia. Dara beberapa literature diketahui bahwa gempa dan aktifitas gunung berapi saling berkaitan erat. Hal ini terbukti jelas di tahun 2006 ketika aktifitas gunung-gunung berapi termasuk Merapi ketika itu menggeliat bersamaan dengan gempa di Jawa 27 Mei 2006 Yogyakarta atau 17 Juli 2006 di pantai selatan Pangandaran sehingga menghasilkan tsunami. Bahkan ketika gempa 27 Mei 2007 terjadi di Yogya, banyak penduduk mengira getaran itu adalah Merapi, karena gunung itu sudah batuk-batuk beberapa waktu sebelumnya di utara Yogya. Tetapi justeru gempalah yang ‘menyerang’ dari selatan Yogya sehingga menelan banyak korban dan kerugian material yang besar ketika itu.

Kekhawatiran saya saat ini adalah bahwa kondisi alam hampir menyerupai kondisi tahun 2006. Saat tulisan ini saya ketik, menurut laporan BMG ada sekitar 21 gunung yang beraktifitas dari sekitar 300-an gunung api yang ada di Indonesia.

Dari 21 gunung itu, 2 gunung tetap berstatus siaga, yaitu Gunung Ibu di Maluku Utara dan Gunung Karangetang, Sulawesi Utara.

19 Gunung yang berstatus waspada adalah:
1. Gunung Seulawah (Aceh)
2. Gunung Sinabung (Karo, Sumut)
3. Gunung Talang (Solok, Sumbar)
4. Gunung Kaba (Bengkulu)
5. Gunung Kerinci (Jambi)
6. Gunung Anak Krakatau (Lampung)
7. Gunung Papandayan (Garut, Jabar)
8. Gunung Slamet (Jateng)
9. Gunung Bromo (Jatim)
10. Gunung Semeru (Lumajang, Jatim)
11. Gunung Batur (Bali)
12. Gunung Rinjani (Lombok, NTB)
13. Gunung Sangeang Api (Bima, NTB)
14. Gunung Rokatenda (Flores, NTT)
15. Gunung Egon (Sikka, NTT)
16. Gunung Soputan (Minahasa Selatan, Sulut)
17. Gunung Lokon (Tomohon, Sulut)
18. Gunung Gamalama (Ternate, Maluku Utara)
19. Gunung Dukono (Halmahera Utara, Maluku Utara)

Sementara Gempa besar 7.2 M telah terjadi disertai Tsunami di kepulauan Mentawai adalah efek dari salah satu bangkitnya aktifitas tektonik Eurasia tersebut dan sangat berkaitan satu dengan yang lainnya. Gunung Talang di Sumatra Barat dalam hal ini paling berhubungan dengan gempa Mentawai, satu hal yang hampir mirip dengan Yogyakarta 2006 dengan Merapi dan gempa di Bantul. Menurut catatan gempa tahun 1981 yang terjadi di Yogya, Merapi juga sedang aktif2nya dengan puncak letusan pada 15 Juni 1984.


Gambar hubungan geology antara gempa sebagai akibat pergeseran pelat bumi dan aktifitas gunung berapi

Walau ini sering dibantah oleh BMG / ESDM sendiri dan harus dibuktikan dengan catatan2 yang lain, kita pantas berhati-hati dan waspada. Saya tidak bermaksud menghubung-hubungkan kondisi ini dengan bencana. Siapa tahu hal-hal yang tidak kita duga mungkin terjadi. Semoga letusan Merapi Sabtu 30 Oktober dini hari lalu adalah yang terakhir kalinya dan tidak diikuti gempa yang dapat menimbulkan bencana. Mari kita tetap berdoa dan berusaha agar bencana tidak datang terus menerus di negeri ini.

UPDATE!
9 November 2010
Setelah letusan dahsyat merapi Jumat dinihari 5 November 2010 lalu hari ini sudah disusul gempa di selatan Bantul 5.6 skala Ritcher. Sebelumnya juga terjadi di selatan Wonosari dengan 4 SR. Berdasarkan informasi yang diterima dari BMKG Yogyakarta, gempa terjadi pada 8,98 Lintang Selatan (LS) dan 110,08 Bujur Timur (BT) pada 125 km sebelah barat daya Kabupaten Bantul, DIY di kedalaman 10 km yang berlokasi di laut.
Walau terasa tidak begitu besar di Yogyakarta, namun sempat dirasakan pula di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dan yang paling penting gempa tersebut tidak merusak. Semoga itulah gempa yang saya khawatirkan tersebut. Dengan sudah terjadinya gempa di selatan Merapi, saya berharap semoga gempa tidak akan muncul lagi. Amin