Sabtu, 13 November 2010

MENGAPA RUMAH JAWA BANYAK RUNTUH PADA GEMPA 2006 ?


Secara umum faktor penyebab banyaknya kegagalan rumah Jawa dapat dipengaruhi oleh: kedekatan pusat gempa, formasi geologi wilayah setempat, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, dan konstruksi yang tidak sempurna (Idham, N, 2010a et.al)

Pusat Gempa Berada Relatif Sangat Dekat dan Dangkal dengan Objek Rumah Jawa

Menurut sumber USGS, gempa 2006 mempunyai kekuatan 6,2 skala Ritcher dengan pusat gempa pada 7,96° LS, 110,46° BT dengan kedalaman 10 km. Pusat gempa terletak di darat tepatnya di muara Sungai Opak sekitar 20 km dari Yogyakarta dengan kedalaman yang dangkal. Ini berarti bahwa sumber gempa berada di lokasi rumah Jawa berada (Kabupaten Bantul DIY). Posisi epicenter ini sangat berpengaruh terhadap afek yang diakibatkan pada suatu wilayah. Kekuatan gempa dan efeknya terhadap bangunan akan kurang berarti jika pusat gempa jauh dari sumber energi. Beberapa saat setelah gempa bumi tersebut, sebenarnya telah diikuti oleh gempa lain seperti gempa 7,0 SR di selatan Provinsi Jawa Barat pada tanggal 2 September 2009 dengan jarak pusat gempa 195 km dari Jakarta dengan kedalaman 46,2 km atau di lautan Indonesia (USGS 2009a). Gempa tersebut terbukti 'hanya' menyebabkan 57 orang meninggal dunia dan 300 korban luka-luka serta sekitar 10.000 rumah rusak. Gempa ini juga dirasakan dari Yogyakarta dan Jawa Tengah tetapi tidak berpengaruh atau sedikit, jika ada, terhadap bangunan-bangunan di sana. Gempa bumi yang lain juga terjadi pada 13 November dengan kekuatan 5.4 SR 360 km dari Jakarta dengan kedalaman 41 km (USGS 2009b). Gempa terakhir ini sama sekali tidak memakan korban jiwa dan menimbulkan kerusakan bangunan. Berkaitan dengan pengaruh terhadap bangunan, skala MMI lebih berguna dalam mengukur dampak gempa pada karena berdasarkan pengaruh langsung di daerah tersebut. Jika gempa bumi 2006 Jawa telah VIII-IX, sedangkan September 2, 2009 Jawa Barat hanya gempa VI-VII MMI.

Kondisi Geologi dan Pengaruhnya terhadap Bangunan

Alih-alih menyebarkan ke situs sekitarnya dengan cara radial, gempa bumi 2006 Jawa memiliki pengaruh yang berbeda di beberapa wilayah berkaitan dengan kondisi geologi tanah setempat. Tanah lunak relatif mudah meneruskan dan menguatkan gelombang (S wave dan surface wave) dari pusat gempa. Mennurut MAE percepatan puncak horisontal di wilayah tersebut mencapai 0,20 - 0.34g dan pergerakan vertikal diperkirakan 0,18 ~ 0.30g yang dikategorikan sangat tinggi (Elnashai AS, et.al, 2007). Sebagai hasilnya, bangunan yang terletak di dekat garis sungai atau tanah basah akan terpengaruh lebih ketimbang di tempat lain. Dari data gempa 2006, walaupun relatif dekat daerah pusat gempa, Gunung Kidul mendapatkan efek relatif kecil karena tanahnya lebih kaku dari batu kapur. Di lain sisi, daerah yang lebih jauh seperti Kabupaten Klaten terdapat lebih banyak rumah yang runtuh karena terdiri dari sebagian besar tanah pertanian yang basah. Dengan demikian, sebagai konsekuensi dari lahan pertanian yang gembur, Bantul dan Klaten akan lebih terancam dari bencana gempa bumi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Daerah tanah gembur dan basah membentang dari Bantul ke Klaten ini secara geology dikenal sebagai garis cesar Opak.

Kepadatan Penduduk Sangat Tinggi

Pulau Jawa adalah wilayah berpenduduk terpadat di dunia dengan 979/km². Kabupaten Bantul di mana banyak rumah runtuh di gempa 2006, adalah salah satu di antaranya yang merupakan daerah terpadat di Jawa dengan populasi 831.955 226.777 yang tinggal di rumah di wilayah 506,85 km² atau 1641.4/km² penduduk dan 447,4 rumah di setiap km² (DEPKES 2007). Ketika gempa 2006 menggoncang, 148.440 dari 218.345 rumah (67,9%) di Bantul tidak dapat ditempati lagi atau rusak parah dan runtuh (BAPPENAS 2006).

Struktur Rumah yang Sangat Lemah dan dibangun Tanpa Pertimbangan terhadap Bahaya Gempa

Walaupun rumah Jawa tradisional asli dibangun dengan material kayu, namun pada kenyataannya akhir-akhir ini batubatalah material utama konstruksi bangunan. Menurut Boen (2006), rumah-rumah runtuh dari Jawa 2006 sebagian besar dibangun oleh batu bata baik dengan atau tanpa rangka beton bertulang. Pasangan bata yang lemah merupakan faktor utama penyebab runtuhnya bangunan sedangkan untuk bangunan yang lebih baru dengan rangka beton bertulang; detail hubungan yang tidak benar merupakan aspek paling banyak penyebab kegagalan struktural. Hal ini terutama dikarenakan karena kurangnya pertimbangan bahaya gempa sejak 1943 ketika gempa bumi besar untuk terakhir kalinya, sebelum itu terjadi lagi pada tahun 2006.

Gambar. Perubahan Struktur dan konstruksi Rumah Jawa dari Kayu ke Batubata

Bangunan dengan konstruksi dinding bata telah digunakan secara luas untuk rumah sejak Pulau Jawa diduduki Belanda di awal abad ke-17 hingga masa sekarang (Prijotomo, 1996). Bahkan untuk sebagian besar penduduk Jawa, rumah dinding bata telah digunakan sebagai simbol status sosial keluarga pemilik (Koentjaraningrat, 1984). Sayangnya, konsep baru yang dibawa Belanda yang memang tidak berpengalaman sama sekali terhadap gempa itu, telah diikuti tanpa pertimbangan bahaya gempa. Selanjutnya, keterbatasan ekonomi masyarakat dan kurangnya kesadaran bagaimana pembangunan yang tepat juga telah berkontribusi terhadap penyebab lemahnya konstrukci pembangunan rumah. Konstruksi yang kurang tepat tersebut sayangnya menyebabkan hilangnya begitu banyak nyawa dan materi pada gempa 2006 lalu.

Berdasarkan Paper:


Idham, N, Mohd, M and Numan, I (2010a) ”Why The Javanese Houses Have Failed In The 2006 Earthquake”, in proceeding of the International Conference on Sustainable Built Environment (ICSBE 2010) pp.121-128. Faculty of Civil Engineering and Planning, Islamic University of Indonesia, August 2010.

1 komentar: